Enter your keyword

Pemanfaatan Teknologi di Pesantren sebagai Lokomotif Pemberdayaan Masyarakat

Pemanfaatan Teknologi di Pesantren  sebagai Lokomotif Pemberdayaan Masyarakat

Pemanfaatan Teknologi di Pesantren sebagai Lokomotif Pemberdayaan Masyarakat

PESANTREN bisa berperan besar dalam upaya pemberdayaan masyarakat. Dengan modal budaya, pesantren bisa mengubah perilaku masyarakat menuju kehidupan yang lebih baik, termasuk dalam pemanfaatan teknologi. Menyadari potensi besar tersebut, Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Institut Teknologi Bandung (ITB) berupaya mendorong pemanfaatan teknologi di lingkungan pesantren.

Bekerja sama dengan Pengurus Wilayah Gerakan Pemuda Ansor Jawa Barat, LPPM-ITB menggelar diskusi dan lokakarya daring pada 6-10 Juli 2020. Sebanyak 30 kiai muda dari sejumlah pesantren di Jawa Barat mengikuti kegiatan bertema “Pengembangan Strategi Pemanfaatan Teknologi untuk Pemberdayaan Pesantren dan Kemaslahatan Masyarakat” ini. Kegiatan lokakarya ini merupakan bentuk kepedulian ITB dan PW GP Ansor Jabar untuk memperluas kegiatan pesantren ke depan, khususnya dalam bidang sains teknologi. Diharapkan, pesantren dapat berkembang di bidang sains dan teknologi yang dapat bersinergi dengan ilmu agama.

Intelektual Nahdlatul Ulama yang menjadi dosen di Gent University Belgia, Dr. Ayang Utriza menyarankan agar pemanfaatan teknologi di kalangan pesantren dimulai dengan dengan membangun kesadaran akan pentingnya teknologi sangat dibutuhkan. “Saat penjelasan fikih dan akidah, mulai memasukkan sains dan teknologi,” paparnya. Setelah budaya sains dan teknologi hidup di lingkungan internal, pesantren bisa menjadi fasilitator untuk memberdayakan usaha masyarakat sekitarnya. “Saat itu bisa ditambahkan kegiatan ngaji kitab tentang sains dan teknologi untuk kemudian diajarkan kepada santri dan jemaah pengajian,” tambahnya saat menjelaskan topik “Intelektualitas NU dan Prospek Pengembangan Teknologi”.

Sejatinya, menurut pendiri STT Cipasung, Drs. Abdul Khobir, M.T. yang menyampaikan “Sinergi Nilai-nilai Pesantren dan Sains Teknologi”, kegiatan pengembangan masyarakat di pondok pesantren sudah disadari dan dirintis sejak tahun 1980-an dengan lahirnya Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M). Ketika itu, para kiai sudah memiliki kesadaran untuk membangun pengembangan kegiatan masyarakat, termasuk kiai generasi mudanya.

Lebih dari itu, pesantren juga diharapkan bisa memaksimalkan pemanfaatan teknologi sebagai media menstabilkan hubungan sosial dan memperluas jaringan pesantren dalam misi pemberdayaan masyarakat. Sebagai sebuah subkultur, pesantren memiliki modal budaya yang bisa digunakan dalam mengubah masyarakat ke arah kehidupan yang lebih baik.  “Teknologi bisa berperan sebagai mediator untuk menstabilkan relasi sosial. Teknologi bisa dimanfaatkan untuk memperluas jaringan pesantren untuk misi pemberdayaan masyarakat,” papar Dr. Agus S. Ekomadyo saat membawakan materi “Teknologi sebagai Mediator bagi Pesantren, Religiusitas sebagai Modal Budaya, untuk Pemberdayaan Masyarakat”.

Pemateri “Pesantren dan Pengembangan Komunitas”, Dr. Tubagus Furqon Sofhani menilai perlunya perubahan kurikulum pesantren. Seorang santri bukan hanya harus menguasai kitab kuning, tetapi juga kemandirian, baik ekonomi maupun politik serta pemanfaatan teknologi yang semakin meluas. Dengan begitu, katanya, santri dan masyarakat sekitar mempunyai wawasan yang global. “Ini tidak mudah memang bagi pesantren sehingga jejaringlah yang diperkuat,” katanya.

Lebih dari mengupas paradigma pemanfaatan sains, lokakarya ini juga menampilkan best-practice, antara lain dari keberhasilan Konsep Pertanian Terpadu Masaro dan penerapan iptek di Pesantren Al Ittifak, serta tahapan pemanfaatan praktis dalam materi mengenai “Teknologi, Budaya Pesantren, dan Pengembangan Pertanian di Pedesaan” yang disampaikan Dr. Djoko Sardjadi. “Untuk pesantren yang berlatar belakang pertanian dan peternakan, mari bersama-sama melangkah untuk membantu mengajari bertani. Pesantren harus menjadi model agar penduduk di sekitar dapat mengikuti,” kata narasumbernya, Dr. Djoko Sardjadi seraya mengajak peserta untuk mulai melangkah.

Pada hari terakhir, Ketua LPIK ITB, Ir. Sigit P. Santosa, M.S.M.E., Sc.D., I.P.U. dan  Sekretaris LPIK ITB, Rofiq Iqbal, S.T., M.Eng., Ph.D. mengajak peserta untuk memetakan langkah inovasi yang bisa dilakukan, menyusun kanvas model bisnis, dan beberapa contoh inovasi, antara lain pengolahan limbah domestik ‘Sanita’. Pengembangan Pesantren Masa Depan berbasis Inovasi, menurut Ketua LPIK ini memerlukan beberapa komponen penting. Pertama, menetapkan program prioritas unggulan inovasi, yaitu pendidikan berbasis sistem digital, sistem ekonomi syariah, dan mengembangkan usaha pangan, energi dan air. “Komponen penting yang juga perlu dibangun adalah kerja sama implementasi inovasi teknologi dengan mitra strategis, yaitu alumni, industri, ummat, serta membangun lembaga manajemen inovasi pesantren yang mengelola implementasi pengembangan pesantren masa depan,” kata Ir Sigit P. Santosa saat mengisi topik “Peluang Inovasi untuk Pengembangan Pesantren”.

Ketua PW GP Ansor Jabar, K.H. Deni Ahmad Haedar sepakat bahwa pesantren harus mempelajari sains dan teknologi di luar kitab-kitab keagamaan. Ia berharap, pesantren bisa mengambil manfaat dan belajar banyak dari dosen-dosen ITB yang hadir dalam lokakarya ini Dari lokakarya ini, akan dikembangkan empat klaster pemanfaatan teknologi di lingkungan pesantren. Keempat klaster yang dipilih dalam pemanfaatan teknologi untuk pengembangan pesantren dan masyarakat itu adalah pertanian terpadu, perbaikan lingkungan Sungai Citarum, pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi, serta pengembangan budaya sains di pesantren.*